PORTALnusaina.com, Bula– Korps Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia Puteri (KOPRI) cabang Seram Bagian Timur (SBT) mendesak polisi segera menangkap SAR anak mantan pimpinan DPRD SBT yang diduga sebagai pelaku rudapaksa terhadap seorang siswi di salah satu sekolah di kota Bula.
Kasus ini sudah resmi dilaporkan ke Polres Seram Bagian Timur pada tanggal 24 Desember 2024 lalu, namun tindak lanjut penganan kasus ini belum jelas.
KOPRI geram dengan kinerja Polres SBT yang dinilai lamban dalam penanganan kasus tersebut.
“Kami pengurus KOPRI cabang Seram Bagian Timur dalam hal ini menyampaikan kepada pihak Kepolisian dalam hal ini Polres Seram Bagian Timur untuk segera menyelesaikan kasus kekerasan seksual yang terjadi. Karena dari awal kami melapor itu ditanggal 24 Desember 2024 sampai pada saat ini atau dua hari yang lalu baru dikeluarkan surat panggilan terhadap saksi, ” kata Ketua KOPRI PMII SBT Ramla Rumalean kepada wartawan di Bula, Selasa (7/1/2025).
Ramla menjelaskan mestinya sudah ada titik terang dalam penanganan kasus ini. Apalagi dari awal pelaporan kasus ini pihaknya sudah menyerahkan hasil visum yang dilakukan terhadap korban.
Ia juga mengungkapkan langkah yang akan diambil pihaknya jika Polres SBT tidak serius menangani kasus ini.
“Yang pastinya kami lakukan audiens dulu Kalau memang masih lambat prosesnya mau tidak mau kami harus tetap turun melakukan aksi ke Polres biar masalah ini cepat diselesaikan, ” ujarnya.
Langkah yang diambil KOPRI ini kata Ramla demi menyelamatkan perempuan dan anak agar tidak menjadi korban kasus kekerasan seksual dengan pelaku yang sama.
“Pelaku ini banyak kasusnya misalkan ada penyelidikan lebih lanjut. Kami dari Kopri juga ikut serta dalam kasus ini agar menegaskan Polres untuk segera menyelesaikan kasus ini, ” ujarnya.
Lebih lanjut Ramla mendesak Polres SBT agar secepatnya menahan SAR dan menghukum yang bersangkutan untuk mencegah adanya korban berikutnya. Karena berdasarkan informasi yang diperoleh pihaknya, jumlah korban dari pelaku bejat ini tidak cuma satu, tetapi ada korban-korban lain yang kasusnya sengaja disembunyikan dan mereka takut untuk melapor.
“Kalau tidak dilakukan maka pelaku ini masih berputar diluar, setidaknya pelaku cepat ditahan biar diberikan hukuman. Karena dari hasil yang kami ketahui pelaku ini bukan satu korban tapi ada korban-korba yang lain tapi sengaja disembunyikan. Korban juga tidak melapor pelaku karena mungkin ada perjanjian dan lain sebagainya, ” ungkapnya.
Dalam kasus yang terjadi pada awal September lalu itu tepatnya saat berlangsung tahapan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) SBT itu, lanjut Ramla orang tua pelaku diduga menekan korban sehingga korban tidak berani melapor.
Dari keterangan korban, Ramla menjelaskan bahwa orang tua pelaku yang kebetulan saat itu menjadi salah satu peserta Pilkada meminta korban agar melaporkan kasusnya setelah selesai Pilkada. Namun tidak disebutkan alasan dibalik itu.
“Kasus ade perempuan ini awalnya ada perjanjian, kan kasusnya terjadi tiga bulan lalu korban tidak melapor karena dari informasi yang korban sampaikan itu ada perjanjian antara orang tua pelaku dan juga korban sehingga korban ini tidak memberanikan diri untuk melapor waktu itu. Karena korban juga masih dibawah umur jadi rasa takutnya lebih besar,” ungkapnya.
“Dari penyampaian korban nanti selesai dari Pilkada baru dilaporkan karena kemarin orang tua pelaku juga peserta Pilkada, ” jelasnya. (PN-01).